Featured Post

Free Squid Proxy

Please use proxy below and do not forget to note the Access For. With you using squid proxy many benefits such as increasing internet spe...

Sunday 23 August 2009

PROPOSAL AYAT-AYAT CINTA

MAKALAH SEMINAR
NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY



Oleh :
IBNU HAYAT EFENDI
05.02022.430


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MADURA
2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era industri yang kini sedang berlangsung telah menghasilkan kemajuan di segala bidang. Gerak dan mekanisme ilmu pengetahuan melaju begitu cepat, perkembangan informasi dan komunikasi semakin canggih. Namun harus diakui, dampak negatif dari era industri justru datangnya bersamaan dengan tujuan postif yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan karena era ini adalah era globalisasi atau era keterbukaan, sehingga akulturasi budaya mudah sekali terjadi. Kelemahan masyarakat Indonesia adalah minimnya filter terhadap setiap budaya barat yang masuk, padahal belum tentu budaya-budaya tersebut baik dan sesuai dengan dengan kebudayaan, adat, dan agama. Akibatnya terjadilah kemerosotan nilai atau dekadensi moral. Sehingga muncullah pola kehidupan yang jauh dari nilai-nilai dan etika dan moral, terjadi kesenjangan ekonomi, pola hidup permisif, individualis, hedonis, dan lain-lain.
Menghadapi realitas di atas, pendidikan harus tampil sebagai counter sekaligus bertanggung jawab mewujudkan masyarakat yang didalamnya tercermin nilai-nilai dan etika yang dijunjung tinggi. Hal ini sesuai dengan misi yang dibawa oleh pendidikan itu sendiri yakni membangun manusia yang utuh, manusia yang seimbang antara jasmani, rohani dan spiritualnya. Karena apabila kita ingin melakukan perubahan pendidikan Islam menuju masyarakat global pada zaman sekarang harus mempunyai visi yang jelas, "yaitu visi yang sesuai dengan konstitusi ialah mewujudkan hak-hak asasi manusia dan mengembangkan tanggung jawab anggota masyarakat yang dicita-citakan" [Tilaar,1999:4].
Dalam sasaran kebijakan program pendidikan nasional, dijabarkan secara operasional dengan menata kembali kondisi nasional kita yaitu perlu di tempuh berbagai langkah baik dalam bidang manajemen, perencanaan, sampai pada praksis pendidikan di tingkat mikro. Langkah-langkahnya diantaranya :
Pertama, merumuskan visi dan misi pendidikan nasional kita yaitu : "(1) Pendidikan hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokrasi bangsa sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat secara demokratis. (2) Pendidikan hendaknya memiliki misi agar tercapai partisipasi masyarakat secara menyeluruh sehingga secara mayoritas seluruh komponen bangsa yang ada dalam masyarakat menjadi terdidik".(Suryanto dan Hisyam, 2000:8)
Kedua, isi dan substansi pendidikan nasional yaitu : (1) Substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas siswa dalam totalitasnya. Oleh karena itu, tolok ukur keberhasilan pendidikan dasar tidak semata-mata hanya mengacu pada NEM. Persoalan-persoalan yang terkait dengan paradigma baru menegnai keberhasilan seseorang perlu mendapatkan perhatian secara emplementatif. (2) Substansi pendidikan di jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi hendaknya membuka kemungkinan untuk terjadinya pengembangan individu secara vertikal dan horizontal. Pengembangan vertikal mengacu pada struktur keilmuan, sedangkan pengembangan horizontal mengacu pada keterkaitan dan relevansi antar bidang keilmuan. (3) Pendidikan tinggi hendaknya jangan semata-mata hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja. Tetapi lebih jauh dari itu harus memperkuat kemampuan dasar mahasiswa yang memungkinkan untuk berkembang lebih jauh, baik sebagai individu, anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan yang global. (4) Pendidikan nasional perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang egaliter dan demokratis agar tidak terjadi pengelompokan dalam kelas belajar atas dasar kemampuan akademik. (5) Pengembangan sekolah perlu menggunakan pendekatan community based education. Dalam model in, sekolah dikembangkan dengan memperhatikan budaya dan potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. (6) Untuk menjaga relevansi outcame pendidikan, perlu diimplemantasikan filsafat rekonstruksionisme dalam berbagai tingkat kebijakan dan praksis pendidikan. Dengan berorientasi pada filsafat ini, pendidikan akan mampu merekonstruksi berbagai bentuk penyakit sosial, mental dan moral yang ada dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya akan dapat ditanamkan nsikap-sikap toleransi etnis, rasial, agama, dan budaya dalam konteks kehidupan yang kosmopolis dan plural [Suyanto dan Hisyam, 2000:11-12] (Hujair AH. Sanaky, 20080
Pendidikan merupakan sarana penyebaran nilai-nilai ajaran agama yang menjadi medium bagi terjadinya transformasi nilai dan ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai pencetus corak kebudayaan dan peradaban manusia. Pendidikan juga diarahkan sebagai upaya pengembangan dan pembinaan seluruh potensi manusia tanpa terkecuali, sehingga manusia mampu menghadapi tantangan zamannya. Oleh karena itu, pendidikan adalah kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi.
Adapun sumber-sumber atau pesan pendidikan dapat dengan mudah diperoleh melalui berbagai media. Begitu juga dengan usaha penanaman nilai, baik itu suatu keyakinan, budi pekerti atau juga pengetahuan, yang dilakukan seseorang kepada orang lain tidaklah harus melalui sebuah lembaga atau institusi pendidikan formal bahkan melalui tatap muka. Akan tetapi, bisa juga melalui media pendidikan yang lain. Baik itu media cetak ataupun media elektronik. Dari media elektronik misalnya, televisi, radio, tape, VCD, internet dan sebaginya. Sedangkan dari media cetak seperti, buku, majalah, koran, jurnal, buletin, karya sastra atau novel dan sejenisnya.
Transformasi pendidikan atau nilai-nilai pendidikan khususnya pendidikan Islam melalui media sastra lebih bersifat estetis, pendapat klasik mengatakan, bahwa karya sastra yang baik selalu memberi kesan pada pembaca untuk berbuat baik . pesan itu dinamakan "moral", akhir-akhir ini orang menamakannya "amanat". Maksudnya sama yaitu sastra yang baik selalu mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan demikian, sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral.
Anggapan bahwa sastra identik dengan moral tentu saja bukan tanpa alasan, seperti juga filsafat dan agama, sastra juga mempelajari manusia dengan cara yang berbeda-beda. Sastra, filsafat dan agama dianggap sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa "humanitat" yaitu jiwa yang halus, manusiawi dan berbudaya.
Karenanya, novel sebagai pengejawantahan pengalaman yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan, dapat dijadikan sebagai bentuk budaya konstruktif untuk media pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai keislaman.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam makalah dengan judul Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirozy.
B. Permasalahan
1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penyusun dapat merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana nilai-nilai pendidikan dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Zhirozy ?
2. Penegasan Konsep Variable
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas dapat ditegaskan bahwa makalah ini terdiri atas satu variable. Variable tersebut adalah “ Nilai-nilai Pendidikan Dalam Novel Ayat-ayat Cinta Karya Habiburrahman El Zhirozy.
3. Deskripsi Masalah
Novel ayat-ayat cinta (AAC) yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy, seorang sarjana alumnus Universitas Al-Azhar Cairo, memang fenomenal di Indonesia maupun di negara-negara tetangga yang lainnya. Novel ayat-ayat cinta memberikan pesan kepada kita semua baik dari segi sosial, agama, politik, sikap, maupun yang lainnya. Pesan tersebut berkaitan dengan pendidikan bahwa novel tersebut bertujuan untuk mendidik dan memberitahukan (siar islam) kepada pembacanya.
Pendidikan sebagai tempat untuk mendidik rohani kita yang sebagian digambarkan dalam novel ayat-ayat cinta, karena itu pendidikan yang ada di Indonesia seperti roda yang terus berputar yang tiada titik hentinya. Dalam memberikan didikan yang positif dengan pendidikan yang berakhlak mulia sesuai dengan pendidikan agama islam diharapkan dapat berubah tingkah laku sesuai dengan fungsi pendidikan agama islam.
4. Batasan Masalah
Dalam rumusan-rumusan masalah yang ada, maka peneliti memberikan batasan-batasan masalah dengan tujuan masalah tidak terlalu meluas. Batasan-batasan dalam penelitian ini peneliti menegaskan masalah pada nilai-nilai pendidikan agama islam dalam novel ayat-ayat cinta karya Habiburrahman El Shirozy.
5. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap dan mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy.
D. Pengertian Istilah dalam Judul
a. Nilai-nilai merupakan kadar, mutu, di dalam sesuatu. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta :2007)
b. Sehubungan dengan hal ini penulis menemukan pendapat tentang pengertian pendidikan di antaranya :
1. Menurut Ahmad D. Marimba
“Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.
2. Menurut Ki Hajar Dewantara
“Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat”.
3. Menurut Soegarda Poergawarca
“Pendidikan adalah segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya”.
4. Menurut Poertimer J. Adler
“Pendidikan adalah dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistic dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”.
Jadi, apabila keempat rumusan pendidikan tersebut dipadukan dapat ditarik kesimpulan, bahwa pendidikan mempunyai pengertian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana dan bertujuan, yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada anak didik secara bertahap. (Sam,Arianto. Pengertian Pendidikan Agama Islam. 13 nopember 2008)
c. Novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas, ukuran luas disini dapat berarti alur cerita yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks dan setting cerita yang beragam pula. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta :2007)
d. Moral merupakan ajaran baik buruk perbuatan dan kelakuan atau disebut akhlak. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta :2007)
E. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran pembahasan dalam makalah seminar secara menyeluruh dan sistematis, maka penulisan skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I mencakup latar belakang masalah, penegasan konsep variable, deskripsi masalah, batasan masalah, tujuan pembahasan, pengertian istilah dalam judul, dan sistematika penulisan.
Bab II mencakup kajian tentang objek bahasan, kajian tentang sudut pandang yang digunakan, analisis objek sudut pandang yang digunakan.
Bab III mencakup kesimpulan, kata penutup, serta daftar pustaka, dan lampiran-lampiran.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan tentang Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Perlu dijelaskan pada awal dari pembahasan pada makalah ini, bahwa pada makalah ini menjelaskan atau membahas masalah pendidikan agama islam adalah di Indonesia dan sesuai agama yang di peluk bangsa Indonesia Serta diakui oleh pemerintah. Dengan menfokuskan pendidikan agama islam saja pada batasan masalahnya, maka pendidikan dapat mudah difahami oleh pembaca pada umumnya.
Pendidikan mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, yang mengandung fikiran para ahli dan pecinta pembaharuan. Para cendekiawan di bidang pendidikan masing-masing memberi pandangan atau gambaran tentang masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Meskipun mereka berlainan pendapat dalam memberi batasan tentang pendidikan, akan tetapi ada kesepakatan di antara mereka bahwa pendidikan itu dilaksanakan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri pribadi peserta didik, demi kesempurnaan pribadinya.
Untuk membahas pengertian pendidikan agama islam, maka harus dimengerti dahulu apa yang yang di maksud dengan pendidikan itu sendiri. Adapun para ahli banyak mengemukakan pengertian pendidikan di antaranya :
5. Menurut Ahmad D. Marimba
“Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.
6. Menurut Ki Hajar Dewantara
“Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat”.
7. Menurut Soegarda Poergawarca
“Pendidikan adalah segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya”.
8. Menurut Poertimer J. Adler
“Pendidikan adalah dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistic dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”.
Berpijak dari paduan pendapat di atas dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan proses atau usaha yang dilakukan dengan sadar, seksama dan dengan pembiasaan melalui bimbingan, latihan dan sebagainya yang semuanya bertujuan untuk membentuk kepribadian anak didik secara bertahap.
Jadi, apabila keempat rumusan pendidikan tersebut dipadukan dapat ditarik kesimpulan, bahwa pendidikan mempunyai pengertian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana dan bertujuan, yang dilaksanakan oleh orang dewasa dalam arti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada anak didik secara bertahap. Apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya dimasyarakat, dimana kelak mereka hidup.
Selanjutnya, sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan agama perlu kiranya kita ketahui, yang dimaksud Pendidikan Agama disini adalah identik dengan pendidikan agama Islam. Agar tidak ada kesalahpahaman dalam mengartikannya, maka dari itu akan dibahas dengan memperbandingkan pendapat para ahli, sehingga dapat diketahui lebih jauh dan lebih mendalam tentang pendidikan agama Islam.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pendidikan agama Islam, antara lain :
1. Menurut Omar Muhammad Al – Thoumy al – Syaebani
“Pendidikan agama Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.”
2. Menurut Ahmad D. Marimba
“Pendidikan agama Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.
Pakar lain berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan pergaulan yang mengandung rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada kebaikan disertai perasaan cinta kasih kebapakan dengan menyediakan suasana yang baik dimana bakat dan Selanjutnya, sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan agama perlu kiranya kita ketahui, yang dimaksud Pendidikan Agama disini adalah identik dengan pendidikan agama Islam. Agar tidak ada kesalah pahaman dalam mengartikannya, maka dari itu akan dibahas dengan memperbandingkan pendapat para ahli, sehingga dapat diketahui lebih jauh dan lebih mendalam tentang pendidikan agama Islam.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pendidikan agama Islam, antara lain :
1. Menurut Omar Muhammad Al – Thoumy al – Syaebani
“Pendidikan agama Islam diartikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan.”
2. Menurut Ahmad D. Marimba
“Pendidikan agama Islam adalah suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.
3. Pakar lain berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan pergaulan yang mengandung rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada rasa kemanusiaan terhadap anak dan mengarahkan kepada kebaikan disertai perasaan cinta kasih kebapakan dengan menyediakan suasana yang baik dimana bakat dan kemampuan anak dapat tumbuh berkembang secara lurus.
4. Menurut Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri (Ditbinpasiun), pengertian pendidikan agama Islam adalah suatu bimbingan dan asuhan terhadap anak didik, agar nantinya setelah selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di dalam Islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta menjadikan ajaran-ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya, sehingga dapat mendatangkan keselamatan dunia dan akhiratnya kelak.
Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya mengandung pengertian yang sama meskipun susunan bahasanya berbeda oleh karena itu beberapa pengertian
di atas ditarik kesimpulan bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan dan usaha yang diberikan pada seseorang dalam pertumbuhan jasmani dan usaha rohani agar tertanam nilai-nilai ajaran agama Islam untuk menuju pada tingkat membentuk kepribadian yang utama, yaitu kepribadian muslim yang mencapai kehidupan dunia dan akhirat.
Pelaksanaan pendidikan agama harus dilakukan oleh pengajar yang meyakini, mengamalkan dan menguasai bahan agama tersebut. Hal ini karena salah satu tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan pendidikan agama juga menjadi tanggung jawab keluarga masyarakat dan pemerintah.
Menurut Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri (Ditbinpasiun), pengertian pendidikan agama Islam adalah suatu bimbingan dan asuhan terhadap anak didik, agar nantinya setelah selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di dalam Islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta menjadikan ajaran-ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya, sehingga dapat mendatangkan keselamatan dunia dan akhiratnya kelak.
Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya mengandung pengertian yang sama meskipun susunan bahasanya berbeda. Oleh karena itu, beberapa pengertian di atas ditarik kesimpulan bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan dan usaha yang diberikan pada seseorang dalam pertumbuhan jasmani dan usaha rohani agar tertanam nilai-nilai ajaran agama Islam untuk menuju pada tingkat membentuk kepribadian yang utama, yaitu kepribadian muslim yang mencapai kehidupan dunia dan akhirat.
Pelaksanaan pendidikan agama harus dilakukan oleh pengajar yang meyakini, mengamalkan dan menguasai bahan agama tersebut. Hal ini karena salah satu tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan pendidikan agama juga menjadi tanggung jawab keluarga masyarakat dan pemerintah.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Di dalam pendidikan nasional kita mengenal tujuh poin arah program pendidikan nasional Untuk menjawab persoalan tersebut, saat ini pemerintah telah memiliki tujuh poin arah kebijakan program pendidikan nasional yang digariskan dalam GBHN 1999-2004, sebagai berikut :
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi, kedua,
b. Meningkat kemampuan akademik dan profesional,
c. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk kurikulum,
d. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah,
e. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen,
f. Meningkatan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik masyarakat maupun pemerintah, dan
g. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah" (GBHN,1999-2000:23-24).
Tujuh poin strategi arah kebijakan program pendidikan nasional yang dicanakan, bisa diharapkan dan meyakinkan bahwa juga menghadapi hal yang sama dalam pendidikan islam, secara kontekstual cukup menjanjikan bagi penyediaan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki keunggulan konpetitif di masa akan datang. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan islam sebagai bentuk pendidikan yang mampu merekontruksi berbagai bentuk penyakit sosial, mental dan moral yang ada dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya akan dapat ditanamkan sikap-sikap toleransi etnis, rasial, agama, dan budaya dalam konteks kehidupan yang kosmopilit dan plural.(Suyanto dan Hisyam, 2002:11-12)
3. Faktor-Faktor Pendidikan Islam
Keadaan pendidikan di Indonesia telah banyak dilakukan pembaruan. "Tujuan pembaruan itu akhirnya ialah untuk menjaga agar produk pendidikan kita tetap relevan dengan kebutuhan dunia kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya [Suyanto dan Hisyam, 2000:18]. Tetapi pada kenyataannya sampai kini, "pendidikan nasional terperangkap di dalam sistem kehidupan yang operatif sehingga telah terkungkung di dalam paradigma-paradigma yang tunduk kepada kekuasaan otoriter dan memperbodoh rakyat banyak [Tilaar, 1998:26]. Kenapa demikian, karena sistem pendidikan pada era zaman sekarang yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif rezim ini memang telah mampu menunjukkan prestasinya yang cukup baik di bidang pendidikan. Kemajuan-kemajuan pendidikan secara kuantitatif nampak kita rasakan selama Orde Baru Berkuasa [Suyanto, 1999:3], mungkin sampai saat reformasi sekarang ini.
Pada sistem pendidikan sekarang ini, ada tiga ciri utama yang dapat dicermati di dalam pendidikan nasional kita sampai sekarang ini. "Pertama, adalah sistem yang kaku dan sentralistik; yaitu suatu sistem yang terperangkap di dalam kekuasaan otoritas pasti akan kaku sifatnya. Karena ciri-ciri sentralisme, birokrasi yang ketat, telah mewarnai penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Kedua, sistem pendidikan nasional di dalam pelaksanaanya telah diracuni oleh unsur-unsur korupsi, kolusi, nepotisme dan konceisme (cronyism). ketiga, sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada pemberdayaan masayarakat. Untuk itu, tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat telah sirna dan diganti dengan praktek-praktek memberatkan rakyat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas [Tilaar,1998:26-28]. Di samping itu, sistem pendidikan kita sekarang ini belum mengantisipasi masa depan [Ahmad Tafsir, 1999:7] dan perubahan masyarakat.
Kondisi pendidikan Islam di Indonesia juga menghadapi hal yang sama, karena pendidikan Islam termasuk sub-sistem pendidikan nasional, juga terdesain mengikuti budaya dan politik bangsa yang dibangun pada masa Orde Baru. Sehingga gambaran pendidikan kaku, kurang kreatif, dan melahirkan manusia yang brutal juga bisa terjadi pada pendidikan Islam, apalagi secara intern pendidikan Islam masih menghadapi berbagai persoalan dalam berbagai aspek yaitu persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, dan manajemen pengelolaan. Memang patut diakui, upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja.
Usaha pembaruan dan peningkatan kualitas pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh dan terkesan tambal sulam, sehingga "sebagain besar sistem pendidikan Islam, belum dikelolah secara profesional" [Azyumardi Azra, 1999:59]. Hal inipun didukung dengan "upaya pembaruan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat oleh berbagai masalah, mulai dari persoalan dana sampai dengan tenaga ahli yang belum siap melakukan perubahan Untuk itu, pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas" [Muslih Usa, 1991:11]. Dengan kenyataan ini, semestinya "sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan" [Azyumardi Azra, 1999:57], apabila tidak, maka pendidikan Islam di Indonesia akan ketinggalan dalam persaingan global.
Mencermati permasalah kondisi pendidikan yang dikemukakan, maka ada dua alasan pokok yang perlu dilakukan pembaruan pada pendidikan Islam di Indonesia, yaitu:
1. Konsepsi dan praktek pendidikan Islam sebagaimana tercermin pada kelembagaannya dan isi programnya didasarkan pada konsep atau pengertian pendidikan Islam yang sangat sempit yang hanya atau terlalu menekankan pada kepentingan akhirat. Kedua,
2. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal sekarang ini, seperti madrasah dan pesantren, kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dan kebutuhan masyarakat yang selalau mengalami perubahan dan politik bangsa Indonesia yang sedang mengalami perubahan.
Maka, untuk menghadapi tuntutan dan perubahan masyarakat menuju masyarakat yang madani, diperlukan usaha pembaruan pendidikan Islam secara terencana, sistimatis dan mendasar, yaitu :
Pertama, perubahan pada konsepsi, praktek, dan isi program pendidikan Islam dilakukan upaya pembaruan sebagai berikut :
(1) Perlu pemikiran untuk menyususn kembali "konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia, terutama pada fitrah atau potensinya (Anwar Jasin, 1985:7-8) dengan memberdayakan potensi-potensi yang ada pada manusia sesuai dengan tuntutan dan perubahan masyarakat.
(2) Pendidikan Islam harus didisain menuju pada integritas antara ilmu-ilmu naqliah dan ilmu-ilmu 'aqliah, untuk tidak menciptakan jurang pemisah antara ilmu-ilmu yang disebut ilmu agama dan ilmu bukan ilmu agama atau ilmu umum. Karena, dalam pandangan Islam, semua ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT.
(3) "Pendidikan didisain menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini.
(4) Pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan.
(5) Pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur" [Suroyo, 1991: 45-48]
(6) Pendidikan Islam didesain untuk menyiapkan generasi Islam yang berkualitas untuk mampu menjawab tantangan dan perubahan masyarakat dalam semua sektor kehidupan dan siap memasuki era ilmu pengetahuan dan teknologi .
(7) Pendidikan Islam perlu didesain secara terencana, sistimatik, dan mendasar agar lentur terhadap perubahan masyarakat dan peradaban.
Kedua, perubahan pada kelembagaan pendidikan Islam yaitu :
(1) Perlu menyusun visi dan misi pendidikan Islam menuju IPTEK.
(2) Perlu penataan dan memodernisasika manajemen pendidikan Islam.
(3) Lembaga pendidikan dikelolah secara profesional dengan didasarkan pada prinsip kreatif, otonom, demokratis, transparan, berkualitas, relevan, dan efesiensi.
(4) Sistem rekruiting yang transparan dan berkualitas.
(5) Pengelolah lembaga pendidikan Islam perlu lapang dada, berani, dan terbuka untuk dapat menerima murid-murid atau mahasiswa-mahasiswa non-Islam.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan kerangka dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan (sosial dan kultural). Tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuat maka pembaruan pendidikan Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti [Anwar Jasin, 1985:9]. Kemudian langkah selanjutnya adalah mengembangkan kerangka dasar sistimik [Anwar Jasin,1985:10] yaitu kerangka dasar filosofis dan teoritis pendidikan Islam harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat, bangsa dan negara serta kepentingan umat di mana pendidikan itu diterapkan. Apabila terlepas dari konteks masyarakat tersebut, maka pendidikan akan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat, bangsa dan negara Indonesia dalam menghadapi tuntutan perubahan masyarakat menuju masyarakat madani Indonesia.
4. Fungsi Pendidikan Islam
Dalam tujuh poin strategi arah kebijakan program pendidikan nasional yang dicaangkan pada penjelasan sebelumnya, maka dalam pendidikan islam perlu dipersiapkan dengan melakukan terobosan pemikiran kembali suatu konsep pendidikan modern yang dapat menjawab tantangan dan perubahan pada masa era sekarang ini. Oleh karena itu, fungsi pendidikan islam yaitu memberdayakan masyarakat yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan islam, yaitu “yang sesuai dengan konstitusi adalah mewujudkan hak-hak manusia dan mengembangkan tanggung jawab aggota masyarakat yang dicita-citakan.”(Tilaar,1999:4)
B. Landasan Teori Pendidikan Islam
Sehubungan dengan batasan masalah yang penyusun deskripsikan sebelumnya, maka dalam landasan teori ini akan membahas tentang bagaimana nilai-nilai pendidikan dalam islam. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan sebagai berikut :
1. Akhlakul Karimah
Akhlakul karimah adalah akhlak yang terpuji yang sesuai dengan Al Qur’an. Beberapa ajaran Al Qur'an tentang akhlaq salah satunya adalah suka memaafkan, mengajak kebaikan dan tidak melayani sikap buruk dari orang bodoh atau tidak mengerti. Islam telah menetapkan hak-hak asasi manusia yang menyeluruh. Hak-hak ini harus dilaksanakan dan dihormati dalam setiap keadaan. Untuk menjalankannya Islam tidak hanya melengkapinya dengan jaminan hukum, tapi juga system moral yang sangat efektif. Demikianlah, apapun yang mengarah kesejahteraan individu dan masyarakat, dalam Islam disebut moral baik, dan apapun yang merugikan disebut moral buruk. Islam sangat menekankan pentingnya kecintaan kepada Allah dan kecintaan terhadap sesama manusia, dan menentang formalisme. Perhatikan ayat Al Quran berikut:
“Bukanlah kebajikan itu engkau hadapkan wajah kearah timur dan barat, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah , hari kemudian , Malaikat,kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,anak-anak yatim orang-orang miskin, musafir ( yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat ,dan orang-orang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. ” ( QS Al Baqoroh 177).
Dari ayat diatas kita memperoleh gambaran yang sesuai mengenai orang yang adil dan bertaqwa. Ia tidak saja taat pada aturan –aturan yang baik, tetapi juga memusatkan pandangan,pikiran dan juga tindakannya pada kecintaan kepada Allah dan kecintaan pada sesama manusia. Dalam ayat tersebut terdapat empat hal yang paling pokok yaitu:
1. Iman kita harus benar dan murni.
2. Kita harus mewujudkan dalam bentuk amal sholeh di tengah-tengah masyarakat manusia.
3. Kita harus menjadi warga yang baik, mendukung organisasi kemasyarakatan.
4. Jiwa kita harus kukuh dan tak tergoyahkan dalam setiap keadaan.
Itulah standard suatu tindakan yang dapat dinilai dan digolongkan baik atau buruk. Standar penilaian ini merupakan inti seluruh sikap (tindakan) moral berpusat. Sebelum menetapkan perintah-perintah moral, Islam mengingatkan manusia untuk menanamkan kuat-kuat dalam hatinya keyakinan akan Allah yang senantiasa mengawasinya setiap saat dimanapun ia berada. Manusia dapat menyembunyikan dirinya dari seluruh isi dunia, tapi tidak darinya, ia dapat memperdayakan setiap orang tapi tidak dapat memperdayakan Allah; ia dapat melarikan diri dari orang lain , tetapi tidak dari Allah.
Maka, dengan meletakkan ridha Allah sebagai tujuan hidup manusia, Islam telah dilengkapi dengan standar moral yang tertinggi. Ini membuka cakrawala yang tak terbatas bagi perkembangan moral manusia. Dengan menjadikan wahyu Allah sebagai sumber utama pengetahuan, akan memberikan ketetapan (permanensi) dan keseimbangan (Stabilitas) bagi standar moral, yang memungkinkan adanya penyesuaian dan inovasi, bukan untuk mengubah dan mengganti sesuka hati, menjadi murtad, bersifat relative atomistic atau kebebasan moral. Adanya ganjaran atas kecintaan dan ketaqwaan kepada Allah, mendorong manusia untuk mematuhi aturan-aturan moral walau tanpa tekanan dari luar dirinya. Beriman kepada Allah dan hari pengadilan akan mendorong seseorang untuk mengambil sikap (tindakan) moral dengan kesungguhan dan keikhlsan, sepenuh hati dan jiwanya.
Ini tidak berarti adanya perbedaan dari yang asli atau adanya inovasi yang mengahasilkan nilai-nilai kebajikan moral baru, tidak juga mengurangi pentingnya norma-norma moral yang umum yang telah dikenal, atau melebihi sebagian dan mengabaikan sebagian yang lain . tetapi, semua moral kebajikan yang telah di kenal itu diambil dan masing–masing digunakan secara utuh dalam seluruh aspek hidup manusia. Memperluas lingkup kehidupan manusia secara individu maupun dalam bermasyarakat, pergaulan sesama anggota keluarga, tindakanya sebagai warga Negara dan kegiatannya dalam bidang politik, ekonomi, hukum pendidikan dan bidang-bidang social. Ini mencakup kehiupannya dari dari rumah hingga masyarakat.
Dari meja makan hingga medan pertempuran dan konferensi-konferensi perdamaian, atau dari buaian sampai keliang kubur. Pendeknya, tak ada lingkungan hidup yang terbebas dari penerapan-penerapan prinsip-prinsip moral islam. Moral menempati kedudukan tertinggi dalam persoalan-persoalan kehidupan, yang tadinya dikuasai hawa nafsu dan keinginan-keinginan pribadi atau mementingkan dirinya sendiri, menjadi teratur oleh norma-norma moral tersebut.
Hal ini menuntut manusia untuk membangun system kehidupan atas dasar kebajikan dan bebas dari segala bentuk-bentuk kejahatan. Mengajak manusia tidak sekedar melakukan kebajikan, akan tetapi juga membangun kebajikan dan membasmi kejahatan dan melarang kemungkaran. Hendaknya keputusan hati nurani dan kebaikan, tidak pada kejahatan. Kaum muslimin yang menyambut seruan ini dikelompokkan dan disebut sebagai ummah. Dan tujuan tunggal kelompok ummah ini adalah berusaha dengan teratur membangun dan memegang teguh kebajikan serta membasmi kejahatan ( amar maruf nahi mungkar).
Tidak hanya itu saja, Al Qur'an juga mengajarkan agar kita dapat menjadi pemaaf seperti yang tercantum didalam Surat Al-A'raf Ayat 199, yang berbunyi Wallahu'alam :
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."
Kebencian hanya akan membuat kita sengsara, tersiksa, hati kita dongkol, busuk dan kebencian itu akan terus menggerogoti Iman kita. Tak ada gunanya kita memelihara kebencian, bukankah Allah itu maha pengampun, Lebih baik kita berlapang dada mema'afkan kesalahan orang lain dan memupuk rasa persaudaraan dengan sesama hamba Allah SWT.
Siti Aisyah r.a ditanya tentang bagaimana akhlak Rasulullah saw., Beliau menjawab : " Akhlaq Rasulullah itu adalah Al Qur'an ". Oleh karena itu, di dalam pendidikan islam kita diharuskan untuk melakukan akhlakul karimah yang sesuai dengan Al Qur’an.
Tolong menolong juga merupakan akhlakul karimah baik dalam keluarga maupun kelompok msyarakat. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk saling berta’awun (bekerja sama) di dalam kebajikan dan ketakwaan, dan melarang dari saling berta’awun di dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Alloh Jalla wa ‘Ala berfirman :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma’idah : 2)

Pertama, Ta’awun yang syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan merupakan kalimat yang luas cakupannya, yang mencakup kebajikan seluruhnya, yang akan membawa akibat kepada kebaikan masyarakat muslim dan keselamatan dari keburukan serta sadarnya individu akan peran tanggung jawab yang diemban di atas bahunya. Karena ta’awun di dalam kehidupan umat merupakan manifestasi dari kepribadiannya dan merupakan pondasi di dalam membina perabadan umat.
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan ayat tadi (Al-Ma’idah : 2) :
“Alloh Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini merupakan at-Taqwa. Alloh melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.”
Termasuk dalam pengertian ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari hadits Tamim ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam bersabda : “Agama itu nasehat”, beliau ditanya : “bagi siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “Bagi Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.”

An-Nushhu (nasehat) ditinjau menurut asal bahasa, artinya adalah mengikhlaskan diri terhadap sesuatu tanpa disertai tipuan dan khianat. Hal ini merupakan kewajiban ulama dan para penuntut ilmu yang pertama kali sebelum lainnya. Karena mereka (para ulama,) adalah pewaris para nabi, khalifah (pengganti) Rasul di dalam menerangkan kebenaran, berdakwah kepada Alloh, bersabar atas segala rintangan dan mengemban segala kesukaran. Alloh Ta’ala berfirman :
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS Fushshilat : 33)

Kedua, Ta’awun yang syar’iy merupakan konsekuensi harusnya memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum muslimin. Alloh Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar” (QS At-Taubah : 71).

Barangsiapa yang meninggalkan nasehat kepada saudaranya dan menelantarkannya, maka pada hakikatnya ia adalah seorang penipu dan bukan pembela mereka. Karena merupakan konsekuensi dari loyalitas adalah menasehati dan menolong mereka di dalam kebajikan dan ketakwaan.
Ketiga, Ta’awun (saling tolong menolong) diantara kaum muslimin merupakan kekuatan dan pelindung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menyerupakan ta’awun kaum muslimin, persatuan dan berpegangteguhnya mereka (pada agama Allah) dengan bangunan yang dibangun dengan batu bata yang tersusun rapi kuat sehingga menambah kekokohannya. Demikianlah kaum muslimin, semakin bertambah kokoh dengan saling tolong menolong di antara mereka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bagian lainnya.”

Tidaklah umat Islam ini menjadi lemah dan musuh-musuhnya menguasainya, melainkan dikarenakan berpecah belah dan berselisihnya mereka, walaupun kuantitas dan jumlah mereka banyak. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS Al-Anfal : 46)

Perkara ini adalah suatu hal yang telah dikenal oleh fitrah yang lurus dan diketahui oleh akal yang sehat, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair yang bijaksana :
Tombak-tombak enggan menjadi hancur apabila mereka bergabung namun apabila berpisah maka akan hancur satu persatu Semua ini, tidak akan bisa ditegakkan melainkan di atas kalimat tauhid, karena kalimat tauhid merupakan pondasinya persatuan kalimat.
Keempat, Ta’awun dan ittihad (persatuan). Sebagaimana firman Alloh Ta’ala :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS Al-Mu’minun : 52)

dan firman-Nya Subhanahu : “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya: 92).
Ta’awun dan persatuan selayaknya ditegakkan di atas kebajikan dan ketakwaan, jika tidak, akan menghantarkan pada kelemahan yang parah, berkuasanya para musuh Islam, terampasnya tanah air, terinjak-injaknya kehormatan dan terenggutnya tanah muqoddas (Palestina). Sebagai pembenar apa yang diberitakan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam :“Kalian nyaris diperebutkan oleh umat-umat selain kalian sebagaimana makanan di sebuah tempayan yang diperebutkan manusia.” Para sahabat bertanya : “apa jumlah kita pada saat itu sedikit wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab : “bahkan jumlah kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih banjir, dan Alloh akan mengangkat rasa takut kepada kalian dari dada musuh-musuh kalian, dan Alloh akan menancapkan al-Wahn ke dalam hati-hati kalian.” Para sahabat bertanya : “apakah al-Wahn itu wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab: “cinta dunia dan takut mati.”
Hadits ini mengisyaratkan tentang kesudahan umat ini yang berada di dalam kelemahan walaupun banyak jumlahnya, namun mereka berserakan, berjalan tanpa arah dan bergerak tanpa tujuan, maka Allah timpakan atas mereka kehinaan yang akan menetap di bujur dan lintang (bumi ini). Sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Jika kalian telah sibuk dengan jual beli inah (sistem jual beli yang terdapat unsur riba.), kalian terbuai dengan peternakan dan bercocok tanam, dan kalian tinggalkan jihad, maka akan Alloh timpakan di atas kalian kehinaan yang tidak akan terangkat sampai kalian kembali ke agama kalian.”

Seorang muslim, haruslah memiliki solidaritas dengan saudaranya, turut merasakan kesusahannya, tolong menolong di dalam kebajikan dan ketakwaan, agar umat Islam dapat menjadi satu tubuh yang hidup, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
“Perumpamaan kaum mukminin di dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan bagaikan tubuh yang satu, apabila salah satu anggota tubuh mengeluh maka akan memanggil seluruh anggota tubuh lainnya dengan terjaga dan demam.” (Muttafaq ‘alaihi)

Kelima, Tawaashi (saling berwasiat) di dalam kebenaran dan kesabaran merupakan sebab kesuksesan dari kerugian. Saling berwasiat di dalam kebenaran dan kesabaran termasuk manifestasi nyata dari ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan. Dengan kedua hal ini, akan terpelihara agama ini, dan keduanya termasuk amar ma’ruf nahi munkar serta keduanya merupakan sebab terperolehnya kebaikan bagi negeri dan penduduknya. Allh Ta’ala berfirman :
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS Al-Ashr)

Kesempurnaan dan totalitas perkara ini adalah dengan saling berwasiat di dalam kasih sayang, kecintaan, loyalitas, kelembutan dan perhatian. Para sahabat Rasulullah SAW tidak pernah berselisih kecuali (jika berselisih) mereka membaca surat Al-Ashr.
Keenam, Diantara bentuk manifestasi ta’awun syar’iy di dalam kebajikan dan ketakwaan adalah : menghilangkan kesusahan kaum muslimin, menutup aib mereka, mempermudah urusan mereka, menolong mereka dari orang yang berbuat aniaya, mengajari orang yang bodoh dari mereka, mengingatkan orang yang lalai diantara mereka, mengarahkan orang yang tersesat di kalangan mereka, menghibur atas duka cita mereka, membantu atas musibah yang yang menimpa mereka, menyokong jihad dan dakwah mereka, menyertai mereka di dalam sholat jum’at, sholat jama’ah dan ied (perayaan) mereka, mengunjungi orang yang sakit, memenuhi undangan, mengantarkan jenazah, mendo’akan orang yang bersin dan menolong mereka dalam segala hal yang baik.
Ketujuh, Allah sungguh telah mencela tafarruq (perpecahan), karena perpecahan menghilangkan ta’awun (kerja sama), pertautan (hati), kecintaan, dan menghantarkan kepada perselisihan, kesedihan dan kebencian. Alloh Ta’ala berfirman :
“dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS Ar-Rum : 31-32).

Perpecahan merupakan syi`ar (semboyan) kaum musyrikin, bukan syi`arnya kaum muwahidin (orang yang bertauhid) lagi mukmin. Oleh karena itu kaum salaf membenci tahazzub (berpartai-partai) dan tafarruq (bergolong-golongan). Bahkan mereka memerangi dan mengharamkannya.
Kedelapan, Kita telah merasakan dan melihat sendiri apa yang telah dilakukan oleh hizbiyah (partisan) yang membinasakan, dari keburukan-keburukan dan bencana. Mereka mengintroduksikan rasa permusuhan dan kebencian di antara manusia, dikarenakan mereka berinteraksi dengan selain mereka dengan asas hizbi (kepartaian). Loyalitas mereka hanyalah untuk hizbi dan tanzhim (organisasi), tidak untuk Islam dan agama. Mereka lebih mendahulukan ukhuwah hizbiyah (persaudaraan kepartaian) ketimbang ukhuwah imaniyah (persaudaraan keimanan). Menurut mereka, ta’awun disyaratkan haruslah berafiliasi dulu dengan partai mereka. Adapun muslim non partisan (ghoyru hizbi), sekalipun ia teman lama dan sahabat akrabnya, syi`ar mereka terhadapnya adalah “ini termasuk kelompoknya dan ini termasuk musuhnya”.
Termasuk keburukan dan penyimpangan mereka lainnya adalah mereka lebih mengedepankan orang-orang bodoh, menjadikan gerakannya sebagai ‘gerakan bawah tanah’, melemparkan benih-benih keraguan di tengah-tengah kaum muslimin, mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil, menjadikan luapan semangat dan perasaan sebagai asas, menomorakhirkan ilmu dan membuat keragu-raguan terhadap para ulam. Inilah intisari ringkas keadaan kelompok-kelompok dan partai-partai yang mengikat dengan belenggu hizbiyah, yang menyembunyikan ‘desahan nafas’nya dengan ikatan rahasia. Apabila seorang muslim dari luar barisan mereka maju, maka mereka akan menuduhnya sebagai : mutsabbithun (pengendor semangat), musyawwisyun (penyulut kebingungan) dan murjifun (penggoncang barisan) yang menghendaki porak-porandanya barisan Islam dan terbukanya rahasia kepada musuh-musuh Islam.
Apabila datang seorang pemberi nasehat yang jujur dari barisan mereka, niscaya mereka akan menuduhnya sebagai : orang yang menyeleweng dari manhaj, orang yang menghendaki perpecahan dan menelantarkan teman seperjuangan. Imam Robbani, Syaikhul Islam kedua, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah Rahimahulahu berkata di dalam Madarijus Salikin (III/200) :
“Apabila seorang mukmin menghendaki supaya Alloh menganugerahinya bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan sunnah Rasul-Nya dan pemahaman akan kitab-Nya dan aku memandang dirinya bukanlah orang yang padanya terdapat hawa nafsu, bid’ah, kesesatan dan jauh dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Apabila ia menghendaki untuk menempuh jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk mencemooh orang bodoh dan ahlul bid’ah, mencela dan menghinakan mereka, membuat manusia lari dari mereka dan mentahdzir mereka. Sebagaimana pendahulu mereka dari orang-orang yang besar (sahabat) melakukannya bersama panutan dan imam mereka Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada mereka, maka akan berdiri sekelompok dari mereka, mereka berharap kejelekan padanya, melemparkan padanya jerat-jerat jebakan dan membawa padanya pembesar-pembesar mereka yang sombong dan mengadilinya. Maka dirinya menjadi orang yang :
1. Asing di dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka.
2. Asing di dalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan.
3. Asing di dalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka.
4. Asing di dalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka.
5. Asing di dalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka
6. Asing di dalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya.
7. Asing di dalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka.

Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang mau menolong dan membantunya. Karena dirinya adalah seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh
1. Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah.
2. Penyeru kepada Alloh dan Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah
3. Penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf.”

2. Tanggung Jawab
Setiap manusia dikenai dua jenis tanggung jawab, yaitu tanggung jawab personal yang disebut dengan istilah fardhu ain, sedangkan tanggung jawab kolektif atau disebut sebagai fardhu kifayah.
Fardhu kifayah sendiri merupakan kewajiban sebagian umat Islam di suatu wilayah umat Islam untuk melakukan kewajiban tertentu yang diperintahkan Allah sebagai fardhu kifayah (misal amar makruf dalam bentuk melakukan adzan di suatu mesjid atau nahi munkar dalam bentuk memberantas kemaksiatan). Fardhu kifayah baru sah bila memenuhi syarat jumlah dan kekuatan yang memadai. Bila sudah ada umat Islam lainnya dengan jumlah dan kapasitas yang memadai melakukan kewajiban tersebut maka gugurlah kewajiban umat Islam lainnya. Sebaliknya bila belum ada atau belum cukup jumlah dan kapasitas umat Islam yang turun tangan melakukan fardhu kifayah tersebut maka berdosalah seluruh umat Islam yang tidak ikut turun tangan melakukan fardhu kifayah tersebut.
Tentunya juga akan salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardhu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardu ain (individu). Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardu ain, juga melaksanakan fardu kifayah.
Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak di hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karena itu, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini misalnya :
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286).
"Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (An-Nisa: 84).
"Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).
Rasulullah saw. bersabda, "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu."
Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan, yaitu "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).
Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya. Yaitu "segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT". "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang nampak maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah, hlm. 1). Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, acuannya adalah syariat Islam.
Sesudah seseorang dalam melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Seseorang yang mempunyai tanggungjawab personal atau perorangan pada Allah untuk menjadi berguna bagi lingkungannya. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat muslim sesuai dengan firman Allah SWT, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).
Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab, dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya, dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang isteri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya, dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).
Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah berkhianat. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).
3. Tagwa
Al Quran menyebutkan hal ini sebagai kualitas tertinggi seorang muslim:
“ sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS Al Hujurat :13).

Perikemanusiaan, rendah hati , mengendalikan amarah dan nafsu, tulus ihlas, kejujuran, kesabaran, ketabahan, ketabahan, dan menepati janji adalah nilai-nilai moral yang senantiasa ditekankan dalam Al Quran. Perhatikanlah ayat al Quran berikut :
“ Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” ( QS Ali Imran ;146). “ Dan bersegeralah kamu kapada ampunan dari robbmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi; yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, ( yaitu) orang-orang yang menafkahkan ( hartanya), baik diwaktu lapang maupun diwaktu sempit , dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan .” (QS Ali Imran 133-134). “….dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan(oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan angkuh .sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara khimar/ keledai ( QS luqman :17-19).

Sebagai ringkasan, untuk menggambarkan tingkah laku moral (budi pekerti) seorang muslim , Nabi Muhammad SAW bersabda:
“ Allah telah memerintahkan aku tentang sembilan hal: selalu mengingat Allah disaat sendiri maupun diantara orang banyak : berbicara adil, ketika marah maupun senang; tidak bersikap berlabih-lebihan, disaat kekurangan maupun ketika sedang kaya/mampu; menjalin persahabatan dengan orang yang telah memutuskannya, memberi kepada orqang yang menolakku ; diam berarti berfikir; pandanganku berarti teguran; dan aku akan menyuruh melakukan hal-hal yang benar.”

C. Hasil Analisis Novel Ayat-Ayat Cinta
Sehubungan dengan penelitian dengan menggunakan satu variable yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirozy penyusun dapat menganalisis sebagai berikut :
Novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas, ukuran luas disini dapat berarti alur cerita yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks dan setting cerita yang beragam pula. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta :2007)
Pendidikan Islam yang dapat kita jumpai dalam novel ini antara lain :
Dalam novel tersebut, karakter dan perilaku Fahri banyak mengamalkan sunnah Rasulullah. Misalnya, apabila Fahri hendak menjernihkan suasana pertengkaran, ia tidak serta-merta mengeluarkan hadits “La Taghdab”. Sebaliknya, Fahri mengajak orang yang sedang marah itu agar bersalawat ke atas Nabi SAW dan redalah amarah mereka. Tidak hanya itu saja, Fahri juga teguh dengan prinsip Islam. Contohnya, Fahri sangat menjaga hubungan dengan yang bukan mahram. Beliau enggan bersalaman dengan wanita Amerika dan dijelaskan pula sebabnya menurut hukum Islam. Beliau juga menegur sahabatnya yang membiarkan beliau ditemani keseorangan oleh Maria, seorang wanita Kristian, semasa beliau terlantar di hospital.
Dalam kenyataannya mencari seorang istri harus sesuai dengan hati nurani diri sendiri karena dalam menentukan kebahagiaan terciptanya suatu keadaan yang kondusif di dalam keluarga . dalam hal ini, Fahri juga menerima saja wanita yang telah dicalonkan oleh gurunya untuk dijadikan teman hidup. Ia tidak tahu siapa gerangan wanita itu. Ia hanya diterangkan bahwa calonnya adalah seorang muslimah yang salehah dan sanggup ikut sama berjuang dalam dakwah. Fahri diberi foto wajah calonnya, tetapi mengambil keputusan untuk ridha dan tawakkal saja.
Kebiasaan seorang siswa selalu menjaga kedisiplinan dalam menuangkan belajar di bangku sekolah. Fahri selalu menjaga kedisiplinan waktu, meskipun ia orang Melayu (Indonesia). Sebagaimana sudah jadi kebiasaan, orang Melayu tidak tepat dalm waktu.
Keikhlasan seseorang dalam menuntut ilmu berpijak pada niat yang mereka lakukan. Oleh karenanya, Fahri gigih menuntut ilmu. Ia terpaksa menempuh perjalanan yang jauh untuk menuntut ilmu al-Quran dalam suasana matahari yang terik. Ia turut juga rajin berdakwah dengan menterjemah buku dan menjawab persoalan tentang Islam kepada seorang wartawan Amerika sehingga membawa kepada keIslaman wartawan tersebut. Beliau sangat gigih sehingga jatuh sakit sampai akhirnya terpaksa dimasukkan ke rumah sakit akibat terjemur terlalu lama di bawah mentari.


PROPOSAL PENELITIAN


NAMA : EKO CAHYONO
NPM : 05.02022.406
FAKULTAS : KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN : BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
ANGKATAN : 2005


1. JUDUL
PENGGUNAAN SINDIRAN DALAM PERCAKAPAN BUKAN EMPAT MATA DI TELEVISI TRANS 7
2. LATAR BELAKANG
Media massa adalah sarana untuk mengakses banyak informasi dan merupakan sebuah aspek yang sangat penting dalam masyarakat kita. (Thomas, 2007:80) Misalnya media televisi sebagai media komunikasi. Scannell (1988) dalam penelitian terhadap peran sosial dari bidang penyiaran menyatakan bahwa bahasa yang kita gunakan untuk membicarakan tentang acara di televisi juga mencerminkan penerimaan kita terhadap kehadiran media televisi (dalam Thomas, 2007:81).
Dengan adanya media tersebut, maka semakin tinggi tingkat kemauan masyarakat kepada wacana. Maka, semakin banyak pula program tayangan yang akan disiarkan media tersebut. Media televisi sebagai media komunikasi digunakan untuk memberikan hiburan, informasi, serta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dewasa ini. Misalnya acara Bukan Empat Mata ditayangkan di Televisi Trans 7. Acara tersebut termasuk program talk show, karena terdapat dialog interaktif antara pembawa acara dengan menghadirkan selebriti pada setiap episodenya. Talk show semacam ini di kemas dalam bentuk talk show guyonan, karena pada acara tersebut di samping tanya jawab juga menampilkan banyak guyonan-guyonan, humor, bahkan terdapat sindiran pada acara itu.
Sindiran pada acara talk show (Bukan Empat Mata) apabila diimbangi dengan canda tawa yang lucu maka keseriusan akan hilang dengan sendirinya. Maka dari itu, ahli sosiolinguistik Donna Eder dan ahli sosiolinguistik Kristin Hasun menemukan bahwa pemakaian kata-kata makian, hinaan, ejekan, dan tuturan sejenisnya diantara wanita-wanita kelas pekerja atau dibawahnya sangat lazim dan penggunaannya merupakan simbol keakraban (dalam Wijana, 2006:110).
Simbol keakraban dalam sindiran tujuannya yakni untuk berkomunikasi antara penutur dengan mitra tutur tanpa ada rasa sesuatu yang tidak menyenangkan hati dalam berkomunikasi. H.P. Grice berpendapat bahwa suatu kegiatan percakapan yang baik harus memenuhi tujuan percakapan (dalam Parera, 2002:244). Tujuan percakapan dalam sindiran ditentukan oleh latar atau tempat, waktu, situasi sosial, penutur, dan mitra tutur dengan maksud yang dibicarakannya.
Maksud yang dibicarakan terkadang berbicara ada yang bersifat positif, tetapi juga ada yang bersifat negatif. Misalnya, sebagai intropeksi diri dan perbedaan pendapat, selisih paham yang menyebabkan timbulnya kata-kata taboo atau pun kata-kata sindiran yang dilontarkan oleh penutur terhadap mitra tuturnya. Kata-kata sindiran tersebut muncul untuk mengekspresikan segala bentuk ketidaksenangan, kebencian, ketidakpuasan, dan bentuk protes terhadap mitra tuturnya. Luqman berkata,‘Diam itu hikmat, tapi sedikit sekali orang yang melakukannya’ (dalam Jaarullah, 1993:13).
Orang yang mendapatkan kata-kata sindiran secara langsung, dirasakan sangat menyakitkan dan melecehkan. Tetapi, terkadang kata-kata sindiran tersebut juga memiliki fungsi untuk menghibur atau hanya sekedar guyonan tanpa ada maksud untuk menyakiti hati dari mitra tutur tergantung pada situasi dan kondisinya.
Menurut Alwasilah (1987:142) bahasa juga berkaitan erat dengan kondisi-kondisi sekitar pemakaiannya, dan makna dari bahasa tersebut erat kaitannya dengan siapa penuturnya, di mana, sedang apa, kapan dan bagaimana; lingkungan sosial, profesional, regional dan historis juga akan mempengaruhi bahasa dan penafsirannya.
Misalnya, mantan presiden nomor empat sebut saja Gusdur (Abdurrahman Wahid). Ia menyindir kepada wakil presidennya yaitu Mega Wati Soekarno Putri dengan gaya bahasanya yang lucu yakni, “Kalau begini saja, tetap negara kesatuan, tapi isinya tetap negara federal. Gitu aja kok repot”.(Anwarianshah, Kanal Gaya Hidup. Selasa, 12 Mei 2009. http://wikimu.com). Contoh lain dalam acara Bukan Empat Mata bintang tamu menyindir pembawa acara dengan berkata “Saya mencari makhluk kecil, pendek, ya kaya begini”.(29 Juli 2009).
Bahasa yang diungkapkan Gusdur dan bintang tamu Bukan Empat Mata merupakan bentuk gaya bahasa yang sebenarnya mempunyai maksud tersendiri. maksud itu sebagai bentuk simbol yang ada di dalam penutur untuk disampaikan kepada mitra tutur melalui gaya bahasanya.
Misalnya contoh di atas dari sindiran Gusdus yang dilontarkan kepada Wapresnya mempunyai maksud, memang negara kita adalah negara kesatuan. Namun, disamping itu negara kita di dalamnya terbentuk dari beberapa negara lainnya (federal). Entah berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, maupun masalah persatuan bangsa. sedangkan contoh acara Bukan Empat Mata di atas, bintang tamu mencari seseorang yang kecil, pendek seperti pembawa acara. Karena, pada dasarnya pembawa acara mempunyai karakteristik berbeda dengan yang lainnya.
Dengan demikian, sekalipun bahasa bersifat sistematis bahasa tetap bisa digunakan secara kreatif dan inovatif, juga penggunaannya bergantung pada situasi, yaitu apakah situasi itu publik atau pribadi, formal atau informal, siapa yang di ajak bicara. Intinya, semua itu mempunyai maksud dan tujuan tersendiri.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam skripsi dengan judul Penggunaan Sindiran dalam Percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7.
3. PERMASALAHAN
a. Rumusan Masalah
Berdasarkan topik dan uraian di atas secara umum, rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah penggunaan sindiran dalam percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7 ?
Secara khusus permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimanakah gaya bahasa sindiran dalam percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7 ?
b. Penegasan Konsep Variabel
Untuk menghindari kesalahan persepsi dan perbedaan konsep variabel yang terdapat dalam judul penelitian ini, maka perlu adanya penegasan konsep variable sebagai batasan operasionalnya. Menurut Arikunto (2002:9) variabel adalah hal-hal yang menjadi objek penelitian, yang ditatap (dijenggleng-Jawa) dalam suatu kegiatan penelitian ( points to be noticed), yang menunjukkan variasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam penelitian dengan judul Penggunaan Sindiran dalam Percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7 terdapat satu variabel yakni penggunaan sindiran dalam percakapan Bukan Empat Mata di televisi Trans 7.
c. Deskripsi Masalah
Berdasarkan latar belakang dan konsep variabel di atas, deskripsi masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
Sindiran merupkan perkataan (gambar dsb) yang bermaksud menyindir orang; celaan (ejekan dsb) yang tidak langsung. (Poerwadarminta, 2007:1127). Dalam penelitian yang berjudul Penggunaan Sindiran dalam Percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7, penggunaan sindiran merupakan simbol keakraban. Karena, penggunaan sindiran pada acara tersebut tidak menimbulkan pertikaian, ketidaksenangan, dan sebagai bentuk ekspresi bahasa antara penutur dan mitra tutur.
Penutur menggunakan kata-kata sindiran dengan menggunakan bermacam-macam gaya bahasa (style) yang menjadikan bentuk bahasa itu mempunyai maksud dan tujuan berbeda-berbeda. Gaya bahasa (style) adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 2006:113). Dengan demikian, gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut : kejujuran, sopan-santun, dan menarik.
Ada pun macam-macam gaya bahasa sindiran menurut keraf (2006:113) antara lain : ironi, sinisme, dan sarkasme. Namun, pendapat lain berbeda gaya bahasa sindiran ada lima diantaranya: ironi, sinisme, sarkasme, satire, dan inuendo. (Wikipedia bahasa Indonesia http://id.wikipedia.org/wiki/Majas).
Jadi, dalam penelitian dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif peneliti akan mendeskripsikan gaya bahasa sindiran sesuai dengan metode penelitian tersebut.
d. Pembatasan Masalah
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam, peneliti membatasi permasalahan supaya tidak terlalu meluas sehingga terbentuklah suatu titik penelitian. Dalam penelitian ini, dengan judul Penggunaan Sindiran dalam Percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7 pembatasan masalah terdapat pada penggunaan gaya bahasa sindiran meliputi ironi, sinisme, dan sarkasme.
4. TUJUAN PENELITIAN
Menurut Arikunto (2002:51), bahwa tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah penelitian selesai. Maka berdasarkan pengertian tersebut, maka tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Untuk membedakan jenis-jenis gaya bahasa sindiran dalam percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7.
2. Untuk mendeskripsikan gaya bahasa sindiran yang digunakan dalam percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7.
5. ASUMSI
Dalam buku “Prosedur Penelitian” karya Prof. Dr. Suharsimi Arikunto menyebutkan, menurut Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M. Sc. Anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyelidik. *) Dikatakan selanjutnya bahwa setiap penyelidik dapat merumuskan postulat yang berbeda. Oleh sebab itu, anggapan dasar pada penelitian ini sebagai berikut :
1. Terdapat gaya bahasa sindiran di acara Bukan Empat Mata yang ditayangkan di televisi Trans 7.
2. Pada dasarnya penggunaan sindiran seperti halnya orang yang selalu ingin mencari kesalahan orang lain dan pengucapannya mengakibatkan pertikaian (kalau lawan bicara tidak sadar). Namun, pada penelitian ini penggunaan sindiran diungkapkan sebagai bentuk ekspresi bahasa penutur ke mitra tutur sebagai simbol keakraban.
3. Penggunaan sindiran dalam artian yang luas mempunyai sikap positif dan negatif bagi penutur dan mitra tutur. Sikap-sikap tersebut bergantung pada kesadaran mitra tutur yang semestinya diterima atau tidak diterima. Karena pada dasarnya penggunaan sindiran di acara Bukan Empat Mata hanyalah ekspresi bahasa sebagai guyonan.
4. Latar belakang pembicara dengan lawan bicara berbeda-beda (pendidikan dan pola pembelajarannya).
6. PENTINGNYA PENELITIAN
Penelitian ini penting karena hasilnya berguna bagi :
1. Peneliti, dalam rangka menerapkan wawasan keilmuan (teori) yang diperoleh di bangku kuliah.
2. Pembaca, sebagai gambaran atau pengetahuan tentang sindiran sehingga menimbulkan sikap ada rasa intropeksi diri.
3. Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yaitu sebagai tambahan pembelajaran sosiolinguistik, khususnya yang berkenaan dengan bahasa sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
7. ALASAN PEMILIHAN JUDUL
1. Alasan objektif
a. Penggunaan sindiran banyak digunakan di masyarakat.
b. Sindiran pada hakikatnya memiliki makna positif dan makna negatif. Makna positif berupa sikap ada rasa intropeksi diri, sedangkan makna negatif menimbulkan rasa ketidaksenangan.
2. Alasan subjektif
a. Masalah penggunaan sindiran ini belum pernah diteliti. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti penggunaan sindiran dalam percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7.
b. Peneliti ingin mengadakan penelitian ini karena mudahnya mendapatkan literatur atau referensi.
8. BATASAN ISTILAH DALAM JUDUL
1. Sindiran merupkan perkataan (gambar dsb) yang bermaksud menyindir orang; celaan (ejekan dsb) yang tidak langsung. (Poerwadarminta, 2007:1127).
2. Trans 7 merupakan televisi swasta yang menayangkan acara Bukan Empat Mata.
9. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah di acara Bukan Empat Mata yang ditayangkan Televisi Trans 7.
10. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian dengan menggunakan satu variabel sesuai dengan judul penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskripsi kualitatif . Menurut Bogdan dan Taylor Metode penetian ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (Moleonng, 2002:3)
Jadi, penelitian kualitatif menurut David Williams (dalam Moleong, 2005:5) adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan ciri penelitian kualitatif antara lain :
1. Penelitian sebagai instrumen penelitian (human instrumen). Alat peneliti yang mana adalah peneliti sendiri, walaupun garis spesifikasi data yang dilakukan telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Mementingkan deskripsi dengan kegiatan antologi, data yang dikumpulkan dan dimasukkan untuk memberikan gambaran sewajarnya dari objek kajian. Mengutamakan prespektif objek sehingga peneliti tidak mendesaknya pada pandangan pribadi dan subjektivitasnya.
3. Mengadakan analisis sejak awal penelitian. Analisis dengan kajian ini sebenarnya sudah di mulai sejak pengumpulan data.
4. Pengklasifikasian data sesuai dengan fokus tertentu. Dalam hal ini peneliti telah memberikan penafsiran yang sesuai dengan potensi yang ada pada data.
5. Dalam kegiatan ini, peneliti memanfaatkan pengetahuan yang bersifat intuitif dan diadakan sebagai tambahan pengetahuan untuk memberikan makna terhadap data yang telah dikumpulkan.
6. Interpretasi ideografis. Kajian bagi kekhususan yang ada pada objek kajian, faktor-faktor kajian yang ada.
Dengan demikian, penelitian dengan menggunakan rancangan deskriptif kualitatif data yang akan di analisis berupa data verbal bukan data angka, bogdan, biklin, linkoln dan guba (Moleong, 2002:4-7). Ada pun rancagan dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini merupakan rancangan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif yaitu dengan cara menganalisa data berupa percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7. Karena, dimaksudkan untuk mendeskripsikan sesuai dengan judul penelitian ini.
Menurut Janice Mc Drury tahapan analisis data kualitatif sebagai berikut :
a. Membaca/mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan dalam data.
b. Mempelajari kata-kata kunci itu, dan berupaya menemukan tema-tema yang berusaha dari data.
c. Menuliskan model yang ditemukan.
d. Koding yang telah dilakukan. (dalam Moleong, 2005:248)
b. Penentuan Subjek Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang baik penelitian ini dilakukan pada saat acara Bukan Empat Mata ditayangkan di Televisi Trans 7. Karena, pada dasarnya kegunaan penelitian ini untuk memperoleh informasi tentang gaya bahasa sindiran yang digunakan dalam percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7.
Dalam penelitian ini, sumber data menurut Arikunto (2006:1297) adalah subjek tempat data di peroleh. Secara leksikal, subjek mengandung makna sebagai pokok pembicaraan, pokok bahasan atau orang, tempat maupun benda yang diamati sebagai sasaran. Subjek penelitian juga disebut sebagai benda-benda yang akan menjadi sasaran dalam penelitian atau sumber data dalam penelitian.
Sesuai dengan pengertian tersebut, sumber data dalam penelitian ini adalah berupa media elektronik berupa Televisi yang menayangkan acara Bukan Empat Mata. Data berupa percakapan dengan fokus kajian yaitu penggunaan sindiran dalam percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7.
c. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif karena sumber data yang dijadikan acuan berupa penelitian lapangan. Jadi, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Observasi
Metode observasi adalah suatu usaha sadar untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis, dengan prosedur yang terstandart. Kerlinger’ mengatakan bahwa mengobservasi adalah suatu istilah umum yang mempunyai arti semua bentuk penerimaan data yang dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitungnya, mengukurnya, dan mencatatnya. (Arikunto. 2002:197)
2. Teknik rekam
Peneliti akan membawa perekaman yang menggunakan tape rekorder sebagai alatnya.
3. Teknik catat atau tulis
Peneliti akan membawa alat tulis seperti : bulpen, kertas, dan lain-lain. Pencatatan dilaksanakan secara langsung pada saat acara Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7 ditayangkan. Peneliti juga akan mencatat hari, tanggal, dan waktu penayangan.
Setelah data diperoleh, maka peneliti akan mengklasifikasikan data itu sesuai dengan pembatasan masalah dalam penelitian ini. Contoh tabel identifikasi klasifikasi data sebagai berikut :
No Kode Data Data Jenis Gaya Bahasa Sindiran
Ironi Sinisme Sarkasme

Keterangan Kode Data :
- Ironi : I
- Sinisme : S
- Sarkasme : S-2
d. Teknik Analisis data
Teknik analisis data dilakukan setelah pengumpulan data terkumpul dan terkonsep secara sistematis sesuai dengan tabel di atas. Analisis Penelitian kualitatif yaitu dengan melakukan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkrip-transkrip wawacancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya.
Analisis data adalah suatu kegiatan dalam penelitian yang bertujuan untuk menelaah data-data yang diperoleh agar bisa dibaca dan mudah dipahami (Dhohiri, dkk. 2000:129). Teknik anlisis data sebagai berikut :
1. Membaca atau mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data.
2. Menandai dan mengidentifikasi data yang sesuai dengan permasalahan.
3. Mengklasifikasi data sesuai dengan batasan masalah.
4. Koding (pengkodean) yang telah dilakukan.
5. Menginterpretasi data.
6. Analisis kualitatif.
11. SISTEMATIKA PENULISAN
Hasil penelitian ini berupa laporan dalam bentuk skripsi. Sistematika penulisan skripsi hasil penelitian ini terbagi menjadi lima bab, yakni :
BAB I Pendahuluan, berfungsi sebagai pengantar informasi dari keseluruhan materi penulisan laporan penelitian. Secara rinci bagian ini berisi tentang : 1) Latar belakang masalah, 2) Permasalahan yang terdiri dari empat bagian yakni, rumusan masalah, penegasan konsep variabel, deskripsi masalah, dan batasan masalah, 3) Tujuan penelitian, 4) Asumsi, 5) Pentingnya penelitian, 6) Alasan pamilihan judul dari sisi objektif dan subjektif, 7) Batasan istilah dalam judul, 8) Ruang lingkup penelitian, 9) Sistematika penulisan.
BAB II Kajian pustaka, berisi tentang kajian variabel yang diteliti secara teoritis dan kontekstual berdasarkan data-data yang releven. Secara rinci bagian ini berisi : 1) Hakekat sindiran. Sub bagian ini terbagi dalam pengertian sindiran, fungsi dan tujuan sindiran, sendi gaya bahasa, jenis-jenis gaya bahasa sindiran, selayang pandang tentang talk show Bukan Empat Mata, penggunaan sindiran dalam percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7.
BAB III Metode penelitian, berisi informasi bagaimana peneliti menyiapkan dan bagaimana penelitian untuk menjawab permasalahan. Bab ini secara terperinci berisi tentang : 1) Metode penelitian, 2) Subjek penelitian, 3) Teknik penelitian, 3) Prosedur penelitian.
BAB IV Analisis data berisi tentang uraian data dan pengolahannya dengan menggunakan teknik sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Dalam analisis data ini, peneliti akan menyajikan hasil penelitiannya terhadap data yang berisi gaya bahasa sindiran meliputi ironi, sinisme, dan sarkasme. Serta maksud dalam gaya bahasa sindiran itu.
BAB V Penutup, merupakan kesimpulan dan saran yang dipetik dari keseluruhan penelitian.
12. DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 1987. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Dhohiri, Taufiq Rahman, DKK. 2000. Sosiologi 2. Jakarta : Yudhistira.
Jaarullah, Abdullah Bin. 1993. Awas! Bahaya Lidah. Jakarta : Gema Insani.
Keraf, Goryf. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, Lexi J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta : Erlangga.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.
Poerwadarminta, W. J. S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Routledge. Language, Society and Power.(terjemahan) Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Seri Penyuluhan Referensi Pembelajaran Menyunting 2004. 2005. Ejaan Bahasa Indonesia. Surabaya. Surya Print.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik ‘Kajian Teori dan Analisa’. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sumber Internet:
Anwarianshah, Kanal Gaya Hidup. Selasa, 12 Mei 2009. http://wikimu.com.
Wikipedia bahasa Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Majas
13. JADWAL PENELITIAN
No Kegiatan Juni Juli Agustus September
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1
2
3
4
5
6





7 Perumusan Masalah
Inventarisasi Literatur
Penentuan Judul
Penyusunan Proposal dan Konsultasi
Revisi Proposal
Penyusunan Proposal dan Konsultasi
a. Bab I
b. Bab II
c. Bab III
d. Bab IV
e. Bab V
Penyusunan Meliputi Pengesahan dan Pengandaan X
X X X
X X
X X
X
X
X X
X X
X X X
X
X
X





















LEMBAR PENGESAHAN



Proposal penelitian dengan judul “Penggunaan Sindiran dalam Percakapan Bukan Empat Mata di Televisi Trans 7” sudah disetujui dosen pembimbing pada :
Hari………..tanggal…………..2009







Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Yanti Linarsih, M. Pd. Moch. Malik, S. Pd.



Mengetahui
Dekan Fakultas Keguruan dan ilmu Pendidikan



Dra. Sri Harini